Potret Madura Dalam Sebuah Bingkai

Madura Masa Sekarang

Madura merupakan salahsatu bagian dari  wilayah  Kesatuan  Negara Republik Indonesia secara Astronomi  terletak  di sebelah timur  laut Jawa Timur,  luas  wilayah  ± 5.168 km², dengan penduduk hampir 4 (empat ) juta  jiwa. Madura mempunyai nilai history yang sangat  panjang,  dengan melalui proses perkembangan kehidupan sosial /peradaban masyarakat  Madura secara umum sehingga  kaya akan nilai- nilai socio culture   yang unik, hingga saat ini Madura mempunyai perbedaan culture / budaya yang signifikan dengan Daerah lain khususnya Jawa, walaupun kita klasifikasi dalam satu rumpun masyarakat Jawa khususnya rumpun masyarakat  Jawa  Timur.   untuk sampai tujuan pulau Madura harus melintasi selat Madura, dulu pada saat pra  jembatan Suramadu apabila  mau ke Madura dari arah Surabaya  harus melalui sarana transportasi laut melalui Pelabuhan Tanjung Perak menuju  Pelabuhan Kamal wilayah Kabupaten Bangkalan dan bahkan  hingga saat ini masih berfungsi sebagai  sarana penyeberangan masyarakat Madura yang bertujuan Surabaya – Madura  atau sebalikya dengan melalui jasa transportasi kapal Verry ( khususnya bagi masyarakat Kamal dan sekitarnya yang jangkauannya lebih dekat dengan Pelabuhan kamal)kapal Verry tersebut,  orang Madura  menyebutya  kapal “Tongkang” yang bermuatan orang dan kendaraan bermotor serta barang. 

Adanya sarana  pelabuhan Tanjung Perak  atau dikenal dengan sebutan “Ujung” dan  Pelabuhan Kamal dikenal dengan sebutan “Kamal”  ada sejak dulu bahkan sebelum masa penjajahan  Belanda di pulau jawa, tentunya saat itu tidak sesempurna  saat ini masih berupa semak- semak belukar.  alat transportasi Madura  pada masa lalu sangat  populer saat itu adalah transportasi  laut  dan darat bahkan dikisahkan dalam sebuah buku sejarah “TJARANJA PEMERINTAHAN DIDAERAH-DAERAH DIKEPULAUAN MADURA DENGAN HUBUNGANNJA” oleh ZAINAL FATTAH  yang kita analogikan bahwa alat transportasi tempo dulu, masa awal terbentuknya  Pulau Madura ± Tahun 1200, saat itu hanya transportasi laut  yakni  kapal layar (BM. kapal lajhâr), sampai saat ini secara  tutur tinular disampaikan bahwa nenek moyang atau para leluhur  orang Madura adalah “ Pelaut” indikatornya  dapat kita  temukan pada setiap bangunan  Rumah Adat Madura “Tanèyan Lanjhâng“ ataupun  rumah adat Limasan pada  bagian atas rumah terdapat “Jhângghâr”  atau (kamoddhi prao = kemudi perahu) sebagai simbul ketokohan sang penghuni ( penghuni rumah  adalah seorang tokoh yang di hormati ).

Dalam sebuah hasil penelitian / study antropologi ekonomi dan islam oleh Huub  de Jonge dikatakan  bahwa “Pulau  itu dipisahkan dari Jawa oleh selat Madura yang menghubungkan  Laut Jawa dengan Laut Bali. moncongnya di barat laut, karena bentuknya disebut  corong, agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut. Sejak jaman  dahulu kala, corongnya  merupakan suatu daerah pelabuhan penting di Jawa, dimuara Sungai Lamongan dan Brantas terletak kota perdagangan  Gresik dan Surabaya. Diantara tahun 1400 dan 1600, kedua  pantai ini dengan Tuhan yang letaknya lebih kebarat, merupakan pusat perdagangan Jawa  Timur dengan daerah seberang laut. Surabaya  adalah pelabuhan ekspor yang antara lain mengekspor beras dan garam. Gresik merupakan  pangkalan perdagangan yang besar bagi rempah-rempah dari kepulauan Maluku. Dikota – kota tersebut bermukim para  pedagang , Da’I India, Cina, Persia, semenanjung Arab dan dari  beberapa bagian Asia  Tenggara.” Selanjutnya disampaikan pula  bahwa ; di pelabuhan  alam itu adakalanya  berlabuh ratusan kapal dengan daya  muat 20 sampai 200 ton. Dipelabuhan ini pada  paroh  kedua abad ke 15, penyebaran agama Islam dimulai di Jawa  dan Madura.

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia,  Madura yang dulunya dikenal  oleh  masyarakat diluar Madura, sebagai daerah tandus  nan gersang serta dihuni  oleh masyarakat  yang mempunyai karakter yang keras dan  diperkuat oleh ilmu pengetahuan sejarah yang merupakan Mata Pelajaran Sekolah Tingkat SD,SMP dan SMA  saat itu yakni  tentang makanan pokok  orang Madura  adalah “Jagung”  secara gradual  telah bergeser pada satu nilai kemajuan dan bahkan pada  masa  sekarang hampir tidak  ada orang Madura yang bercocok tanam Jagung  secara  rutin seperti sediakala, artinya satu nilai perkembangan peradaban telah dapat  mewarnai budaya Madura itu sendiri.  Adapun sistem tata kelola pemerintahannya serta  pengelolaan wilayah adminstratif merupakan warisan dari masa pemerintahan penjajahan Belanda  (VOC) sampai saat ini, sebagai bukti history antara lain ;   Madura terdiri dari 4 ( empat ) Kabupaten,diruntun dari ujung barat, Kabupaten Bangkalan,  Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep, sebagai pusat  Madura  adalah Kabupaten Pamekasan, sejak dulu sampai saat ini mulai  dari istilah  ibukota  Karesidenan Madura  ( Ensiklopedi Pamekasan. pada  abjad ”K” 157 – 159 ) sampai dengan istilah “Badan Koordinasi Wilayah Pamekasan”  saat ini,  namun saat ini jangkauan wilayahnya lebih luas, yaitu meliputi : 4 (empat) Kabupaten di Madura dan ditambah Daerah Surabaya Utara, Sidoarjo, Gresik dan Mojokerto. Dengan demikian dapat kita  analogikan  bahwa dalam  perkembangan soscio culture  Madura akan banyak mengalami pergeseran nilai secara  masif  karena  Madura  bukan lagi  satu  wilayah  yang terisolir / tersendiri  sehingga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan  socio culture Madura itu  sendiri.

Madura  kaya  dengan  nilai – nilai seni budaya  tradisional sebagai warisan leluhur yang sampai saat ini masih dapat kita  nikmati bersama. Seni budaya Madura mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan seni budaya daerah lain walaupun dalam satu rumpun di wilayah Jawa Timur sehingga  dapat dikatakan bahwa seni budaya Madura merupakan “simbul’ karakter orang Madura yang lugas, tegas  dan bertanggung jawab dengan berlandaskan nilai- nilai norma agama. Ada banyak hal  yang dapat  kita amati bersama dari nilai  simbul yang melekat dalam suatu karya  seni budaya Madura  misalnya kegemaran / kesenangan orang Madura terhadap warna antara lain ; orang Madura senang terhadap warna- warna kuat/ menyolok seperti warna “ Merah, Kuning, hijau (BM;  Mèra, Konèng, Bhiru ) dan warna dasar seperti ; Hitam dan Putih ( BM; Celleng, Potè ) hampir seluruh karya  seni budaya  yang terkait  dengan acesories color/ warna  dominan warna menyolok/ warna  terang, seperti “ Klèlès Sapè Kerrap” ( property karapan Sapi ), Pakaian adat Madura ( Pèsa’ Gombor ) dan ukiran Madura dan karya batik Madura dominan warna menyolok/ warna terang sebagai ciri khas Madura. 

Membahas tentang Madura takkan pernah kehabisan materi, karena Kata “Madura” oleh sebagian besar  orang di artikan  “Maddhuna Saghârâ” = “ Madunya Segara”. Apabila kita simak dari sisi bahasa sehari- sehari ( bahasa Ibu) runtun dimulai dari Madura wilayah timur, yaitu  Kabupaten Sumenep – Kabupaten Pamekasan – Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bangkalan mempunyai karakteristik  yang berbeda baik  ; dari logat / intonasi ataupun dalam tatanan kehidupan sosialnya, sehingga  dapat kita klasifikasi  sebagai berikutKabupaten Sumenep = halus – Kabupaten Pamekasan = agak halus – Kabupaten Sampang = Kasar dan Kabupaten bangkalan = agak kasar, namun demikian hal tersebut  tidak dapat kita pungkiri bahwa hal tersebut  cepat  ataupun lambat  nilai- nilai tersebut  akan tergeser  seiring perkembangan peradaban manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi manakala para  generasi tidak diberi landasan kuat untuk mencintai seni budayanya sendiri. Masih segar  dalam ingatan kita tentang rencana pembangunan Jembatan Suramadu  pada  konsep  dasarnya berasal  dari seorang tokoh Madura  “RP. MOH. NOER” diceritakan pada masa  kekuasaan “Orde Baru” diera 1970 an saat  beliau  menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur diusulkanlah konsep sarana penyeberangan sebagai penghubung  Madura d besar engan Surabaya dikalangan internal keluarga RP. Moh. Noer  baik di Kabupaten Sampang maupun di Kabupaten Pamekasan ramai dibicarakan karena beliau berasal dari kedua wilayah tersebut saat itu yang berkembang tentang penolakan konsep  jembatan  penghubung  antara  Madura  dan Surabaya oleh Presiden Soeharto namun demikian beliau  tetap dalam sebuah keyakinan yang kuat  bahwa ‘ suatu saat nanti akan dapat terwujud jembatan Surabaya  – Madura”  demikian ungkapan beliau ketika sedang bersilaturrahim dengan sanak  keluarga di Madura sehingga muncullah  anekdot yang berkembang di kalangan masyarakat Madura diwilayah Jawa Timur dan sampai saat ini masih dikenal oleh masyarakat luas, dikisahkan, ; ada   seorang tukang becak berasal dari  Madura di Surabaya, sedang mendapat penumpang dari Jalan Jembatan merah menuju kantor  Gubernur, kemudian penumpang tersebut  mencoba berdialog dengan  tukang becak yang sedang mengayuh becaknya ; penumpang : “ bapak berasal dari mana” dengan logat Madura yang kental si tukang becak menjawab dengan sigap “ Madurra …pak “ kemudian penumpang kembali bertanya; “ Madura mana  Sampang ? si tukang becak menjawab dengan nafas tersengal …. selanjutnya penumpang bertanya lagi ; “siapa gubernurnya  sekarang pak ? dengan sigap dengan suara nafas tersengal semakin keras, Tukang Becak menjawab dengan tangkas “ Pak Noer … pak” sang penumpang kaget “ lho” ….bukan pak  sekarang ini Gubernurnya  Pak Basofi” …… dengan cepat pula tukang becak menjawab “itu kan gantinya ….yang benar itu  Pak Noer” si penumpang senyum simpul …sambil  lalu turun dari becak yang ditumpanginya karena telah sampai tujuan. Konteks ini  dapat kita analogikan bahwa  ; begitu kuat nama  seorang tokoh mantan pejabat publik melekat di hati masyarakatnya karena sepengetahuan penulis bahwa walaupun dalam kondisi purna  beliau  (almarhum) tetap mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat.

Kondisi Madura saat ini tentunya telah mengalami perkembangan yang sangat pesat  apalagi ditunjang dengan adanya infra struktur  jembatan Suramadu, sebagai  sarana  penghubung  antara  Madura  dan Surabaya, kondisi ini nyata telah bergeser dari nilai  socio culture dikatakan dulu sebelum adanya sarana jembatan suramadu apabila  orang Madura bepergian ke jawa atau ke Surabaya orang Madura mengatakan “Ongghâ = Naik“ saat ini masyarakat Madura tidak lagi mengatakan hal tersebut namun cukup dengsn menyebutkan kota tujuan, tentunya tidak dapat kita  pungkiri pula bahwa dalam sebuah pengaruh pekembangan peradaban manusia yang diiringi oleh perkembangan teknologi ada plus minusnya, dengan demikian sebagai antisipasi kedepan  dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan ini dari sejak dini dapat  kita antisipasi khususnya  nagi para  generasi warga masyarakat Madura dapat membentengi diri dengan memperkuat landasan  nilai – nilai norma agama dan soscio culture budaya madura sebagai filter / penyaring transformer nilai- nilai budaya  asing  yang masuk dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang setiap detik berkembang dan beraduk dalam  kehidupan masyarakat sehari- hari.

Perkembangan peradaban manusia yang disertai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan secara massif tidak dapat kita nafikan/ tidak dapat kita abaikan dan tidak ada  dalam sejarah perkembangan peradaban manusia yang mengalami kemunduran, kalau tergilas tak terbendung ikut  arus dalam perkembangan peradaban  manusia itu  sudah tentu  manakala kita  sebagai generasi penerusnya  terlena dengan semua apa yang kita  hadapi saat itu dan saat ini, oleh karenanya sebagai upaya  antisipasi perkembangan peradaban dimasa milenia ini dapat kita lakukan dengan mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (para  generasi ) kita  dengan pendidikan  agama dan  pendidikan umum yang cukup sehingga pada  masa tertentu yakni pada  masa generasinya dalam memasuki perkembangan peradaban manusia secara global tidak hanya  sebagai penonton ataupun tergilas oleh perkembangan peradaban itu sendiri tapi sebagai peserta yang berfungsi sebagai penyaring / filter dalam pembentukan karakter berbangsa dan bernegara tetap sesuai dengan nilai-nilai norma agama dan nilai – nilai Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Madura  yang akan datang 

Kekhawatiran terhadap pengaruh perkembangan peradaban manusia dan Ilmu Pengetahuan  khususnya bagi generasi era 50 – 70 an dapat kita  rasakan bersama di masa sekarang, dimana saat ini telah diakui sebagai masa/era Mileneal, pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang dilakukan secara gradual  yang dimulai dari  pasca Kemerdekaan Republik Indonesia yaitu  pada  masa Ordelama, pada masa Orde Baru hingga  kini masa Reformasi telah mengalami perkembangan yang signifikan mulai pembangunan sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, Sektor Ekonomi global, dan pembangunan  Infra Struktur  serta pembangunan Seni Budaya telah dirasakan oleh seluruh komponen Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Meraoke. 

Madura yang  merupakan bagian kecil dari Republik Indonesia tentunya  juga  telah turut merasakan hasil pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan tidak mengesampingkan hal – hal positif – negatif (plus minusnya) yang terdampak atas keberhasilan pembangunan tersebut, tentu saja hal tersebut salah satu konsekwensi yang harus diterima oleh setiap manusia yang selanjutnya bagaimana para generasi menyikapinya  dampak negatif – positif tersebut menjadi sebuah energy positif, sehingga  dapat menciptakan sebuah cahaya gemilang untuk pembangunan dimasa yang akan datang. Dalam hal ini penulis  akan mengungkap suatu nilai history gemilang yang telah dilakukan oleh para generasi pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan yang berasal dari Madura kususnya  Kabupaten Pamekasan sebagai nilai keseimbangan dan cermin  bagi generasi selanjutnya dimasa yang akan datang, dikutip dari buletin yang ditulis  oleh A.Sulaiman Sadik, dalam rangka Hari Jadi Pamekasan, yang bertemakan Sejarah Kabupaten Pamekasan ;

Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuh. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.  Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggo ukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labângan Dâjâ ke Kraton Mandhilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya. Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa Kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam. Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal fattah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas.

Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan-jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.

Bahkan zaman pemerintahan Ronggo Sukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda Kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan. Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti “Graaf “ dan “TH. Pigeaud”  tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang “Matahari Terbit dan Bulan Sabit”, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah Madura. 

Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerah sebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Kè’ Lèsap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik Nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Bhâpa’, Bhâbu’, Ghuru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karesidenan Basuki). Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso, walaupun sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Memberlakukan dan perlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas.

Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.

Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di negara kita pada zaman kebangkitan dan Pergerakan Nasional. Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai politik Nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh Nasional. Kita mengenal “Tabrani”, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh lainnya seperti “Mohammad Yamin” sudah tidak lagi bersilang pendapat.

Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat Nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan.

Setelah mencermati dan menilai rangkaian nilai sejarah perjuangan bangsa diatas  para leluhur dengan gigih tanpa mengenal pasang surut  memperjuangkan  kemerdekaan dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa demi terwujudnya kemaslahatan bangsa  dengan  kondisi yang serba terbatas, mampu mewujudkannya hingga  kini kita  nikmati bersama,patut kita pertanyakan  akankah menjadi cambuk bagi kita semua dalam mengisi kemerdekaan ini secara  berkesinambungan dari generasi kegenerasi selanjutnya. Oleh karena itu pengaruh era globalisasi dunia yang berdampak langsung terhadap socio culture menjadi tanggung jawab kita  bersama guna membangun dan membentuk serta meberikan  bekal para generasi kita agar menjadi generasi yang berkarakter The Nation’s Culture  yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Mencermati perkembangan Socio Culter akibat  pengaruh era global sebuah perkembangan peradaban dunia yang merambat secara massif dibeberapa  Negara berkembang didunia Internasional serta  maraknya perkembangan tekhnologi ditingkat dunia semakin menjadi nyata akan berdampak kuat terhadap generasi muda Indonesia khususnya  Madura. Perkembangan teknologi secara  global tak dapat kita  pungkiri lagi hal tesebut  merupakan bagian dari unsur  perkembangan peradaban manusia yang berpengaruh terhadap perilaku  kehidupan social  masyarakat khususnya  para  generasi dan kita  sendiri, tentu saja hal tersebut harus  kita sadari bersama dengan tetap  berfungsi pengendali bagi generasi kita  untuk tetap  menjungjung tinggi nilai- nilai  peradaban leluhur  kita dengan cara melestarikan dan mengembangkan warisan Budaya dan Seni Tradisional  yang sampai saat ini masih dapat  kita nikmati  bersama, bahkan  dari  nilai- nilai Budaya dan Seni yang kita  dapati saat ini telah  mengalami perubahan melalui proses kemasan disesuaikan  kebutuhan  generasi  saat ini dengan tetap berpijak pada nilai  pakem yakni tradisional  Madura.

Perkembangan peradaban masyarakat Madura pada  umumnya dapat  kita potret bersama melalui unsur- unsur kebutuhan kehidupan social masyarakat Madura berdasarkan pengalaman penulis  yang hidup pada  generasi 1962 yaitu dimasa peralihan  Orde Lama ke  Orde Baru dan Masa  Reformasi serta masa  Mileneal saat ini. Kondisi kehidupan Sosial Madura saat  ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya, hal ini penulis akan menyampaikan satu nilai falsafah jawa ; “ Sandang – Pangan – Papan” artinya  setiap kehidupan Manusia butuh  “Pakaian Makan dan Rumah” untuk mendapatkan tiga unsur tersebut manusia harus  dengan jalan “bekerja” maka dengan bekerja akan dapat terpenuhi  semuanya. Orang Madura  juga mengadopsi nilai falsafah  orang jawa tersebut dengan melalui ungkapan kata bermakna  dalam sastra  Madura “ Mon Terro Ngakana Alako”  diterjemahkan dalam ( BI = apabila ingin makan bekerja) sebenarnya dalam konteks ini yang ingin disampaikan oleh para leluhur kita adalah ; “ Apabila ingin terpenuhi kebutuhan hidup harus dengan jalan bekerja” lalu kemudian secara spesifik leluhur  kita  mengatur tentang hal tersebut dengan melalui Prèbhâsan Madhurâ “ Lakona Lakonè, Kennengna Kennenggè “  terjemahan dalam  ( BI = Kerjanya Kerjakan, Tempatnya tempati ) makna yang terkandung dalam falsafah ini  adalah bahwa setiap orang punya  keahlian sendiri dan tekuni sesuai dengan keahliannya  serta  jangan pernah  kalian punya  rasa  iri pada  orang lain ).

R. Sony Budiharto

Departemen Tari Dewan Kesenian Jawa Timur | Pengurus Dewan Kesenian Pamekasan Pembina | Pelatih  Sanggar Madu Sekar | Pimpinan Home Band “Komunitas Arek Lancor”