Haruskah Dewan Kesenian menjadi Dewan Kebudayaan ?

Amanat dari UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah cukup jelas: menyelenggarakan upaya-upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan terhadap 10 objek pemajuan kebudayaan. UU ini pun secara spesifik juga diperinci dengan lahirnya PP 87/2021 sebagai Peraturan Pelaksanaan. Di dalam PP, muncul isu yang mengemuka yakni kelembagaan kebudayaan yang dibagi dalam berbagai tingkatan yakni lembaga, pranata, sampai dengan sumber daya manusia. Pertanyaan publik terkait dengan implementasi pemajuan kebudayaan terjawab, kendati menyisakan pertanyaan bagaimana nasib lembaga Dewan Kesenian yang telah terlebih dahulu berdiri melalui Instruksi Mendagri 5A/1993?

Dewan Kesenian Jawa Timur, yang berdiri sejak 19 Februari 1998 merupakan lembaga yang terkena imbas dari keberadaan peraturan ini. Relevansi lembaga dipertanyakan, ketika dihadapkan bahwa realitas di daerah lain seperti Daerah Istimewa Yogyakarta mengubah Dewan Kesenian menjadi Dewan Kebudayaan dengan tentunya lingkup kerja yang lebih luas atau DKI Jakarta yang tetap bertahan dengan Dewan Kesenian namun diperkuat dengan Perda yang cukup jelas mengatur berbagai hal termasuk penganggaran. Kedua lembaga ini merupakan contoh yang dapat dijadikan benchmark bagi daerah lain di Indonesia.

Dengan berbagai pengkhususan bahwa kedua daerah ini merupakan daerah khusus dan istimewa yang secara penuh mendapat dukungan dari pemerintah dengan perhatian yang luar biasa dalam bidang kebudayaan maupun dari segi akses anggaran, perlu untuk dicatat bahwa di Jawa Timur kondisi jauh berbeda dengan kondisi yang dapat dikatakan terdapat suatu love-hate relationship. Pertama, profesi-profesi yang disebutkan berikut: budayawan, seniman, beserta seluruh pegiat dan penggerak budaya dan kesenian; sangat rentan untuk dijadikan kendaraan elektoral dan basis-basis massa. Kondisi ini perlu diwaspadai dalam ruang lingkup kepentingan kebudayaan dan seni hanya ditarik-ulur demi memenuhi kepentingan pragmatis penguasa. Konsekuensinya seniman baik yang terlembaga dalam DK atau yang tidak hanya sebatas mengekor atau yes-man untuk memuluskan segala kebijakan strategis pemerintahan daerah terkait kebudayaan dan seni.

Kedua, terdapat anggapan yang berkembang di dalam berbagai stakeholder bahwa menjadi anggota DK secara pribadi merupakan sarana portofolio untuk membuat akses ketenaran dalam berkarya di tengah-tengah masyarakat apa pun bentuknya, atau sekadar mendapatkan akses terhadap pengakuan sekaligus relasi politik dengan penguasa. Konsekuensinya, beberapa DK menempatkan diri sebagai oposisi pemerintahan daerah yang seolah tajam dan kritis dari segala tindak-tanduk yang dilakukan oleh penguasa. Hal ini juga dilakukan untuk mendapatkan akses pendanaan yang membuat seniman, budayawan beserta penggiat dan penggerak tidak independen dan lebih parahnya menjadi duafa kebudayaan.

Himpitan kondisi ini mengakibatkan DKJT sebagai lembaga berpotensi masuk salah satu dalam tiga skenario berikut: (1) Kemunculan Perpres 65/2018, yang berpotensi menggeser peran DK dengan Tim Penyusun PPKD sebagai lembaga permanen akibat di-SK-kan kepala daerah tanpa batas waktu; (2) Antara likuidasi kemudian digantikan Dewan Kebudayaan atau berdiri bersama-sama atau berbagi nasib dengan Dewan Kebudayaan dengan risiko reduksi terhadap arti dan peran dari DK; (3) Kondisi yang mungkin saja terjadi secara umum pada saat ini di berbagai daerah di Jatim dengan DK: DK tidak diakui pemerintah, tidak bubar namun bernasib seperti gerilyawan seni.

Belum gamblangnya definisi dari DK maupun Dewan Kebudayaan dalam perannya menangani upaya-upaya pemajuan kebudayaan akibat keliaran dan kesempitan tafsir (overinterpretation dan underinterpretation), masih ada lagi kendala konsolidasi dan resiliensi antar seniman. Perjuangan nasib seniman mudah sekali dipatahkan oleh fragmentasi dan segregasi yang dilakukan penguasa yang tuna-kesenian sekaligus tuna makna kesenian karena tidak dapat se-iya sekata. Alih-alih mengangkat nilai-nilai pluralisme dan diversitas dalam aneka seni, budaya, sekaligus kelembagaannya, seniman terkotak-kotak dan kerap diadu domba dan bahkan mengadu dirinya sendiri dalam kepentingan yang bersifat ego sektoral.

Ke depan, DKJT masih memiliki kesempatan untuk menunaikan imperatif historis atau tugas kesejarahan senyampang masih punya daya/kuasa mengingat belum ada wacana mengemuka pada pembentukan Dewan Kebudayaan di tingkat Provinsi. Persoalan-persoalan di atas perlu jawaban konkret yang juga bersifat sapu jagat: kelahiran suatu Perda Penyelenggaraan (atau istilah lain seperti Tata Kelola) Kesenian Jawa Timur yang dapat mengatur pemberdayaan, penguatan, dan pengarusutamaan demi ketahanan peran dan fungsi dari Dewan Kesenian Jawa Timur dalam amanah yang diberikan dalam UU 5/2017 dan PP 87/2021. Dalam sekali jalan, Perda ini juga dapat memberikan posisi yang jelas pada DKJT sekaligus memberikan penguatan kelembagaan secara berkelanjutan dalam penyelenggaraan kesenian di Jawa Timur.

Di dalam Perda ini terdapat beberapa hal yang dapat diatur terkait letak DKJT sebagai: (1) Mitra kerja pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis di bidang kesenian; (2) Advokat kesenian Jawa Timur yang dapat membela dan memberikan dukungan kepada pemerintah dan masyarakat kesenian maupun masyarakat luas; dan (3) Mediator dari berbagai pemangku kepentingan untuk menguatkan atmosfer dan ekosistem kesenian Jawa Timur yang kondusif dan inklusif. Dengan ini, dapat pula ditambahkan bab-bab mengenai penguatan dan peningkatan ketangguhan DKJT. Dengan demikian, regulasi yang dibentuk dapat menjadi modal mempertahankan dan membuat kelembagaan kesenian berlanjut di tengah tren global memasuki era regulasi dan hak kekayaan intelektual.

Akhir kata, tawaran-tawaran DKJT dalam rancangan Perda Penyelenggaraan Kesenian dapat menghadirkan kepastian orientasi kesenian di masa depan dan menghindarkan geliat seni di Jawa Timur dari wadah tunggal yang berpotensi monopoli, hegemoni, dan oligarki kebudayaan untuk menangani segala urusan pemajuan kebudayaan. Hal-hal yang kemudian menyebabkan UU Pemajuan Kebudayaan tidak memerintahkan dan memandatkan pembentukan Dewan Kebudayaan Nasional maupun Daerah.

* Disarikan dari pandangan Prof. Djoko Saryono, anggota Majelis Pertimbangan Organisasi DKJT terkait usulan inisiatif rancangan Perda Kelembagaan Budaya/Seni di Provinsi Jawa Timur.

Probo Darono Yakti, S.Hub.Int, M.Hub. Int

Departemen Penelitian dan Pengambangan Dewan Kesenian Jawa Timur | Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga | Penulis Buku Poros Maritim Dunia | Ketua II BN SETALOKA HIPREJS JATIM