Air dan Kebudayaan

Hidup bagaikan air yang mengalir, begelombang, tenangnya menjadi sumber dari segala kehidupan dimuka bumi. Namun, tetap harus hati – hati dengan air, jika air tersebut dibendung, ia juga dapat meratakan segala apapun yang dilewatinya. Air itu fleksibel dimanapun air berada , dinamis dan kuat, sekeras kerasnya batu bisa rusak dengan tetesan air. 

Arti filosofi air dalam kehidupan: 

1. Selalu mengalir ke tempat – tempat yang lebih rendah, air mengajarkan untuk selalu rendah hati. 

2. Air bersifat lembut tetapi juga bisa menjadi kuat bila dibutuhkan, air mengajarkan kita keseimbangan. 

3. Tetesan air dapat melubangi kerasnya batu karang, air mengajarkan kita tentang kegigihan dan keajegan dalam kehidupan. 

4. Air selalu mengisi ruang kosong, air mengajarkan kita untuk selalu saling tolong menolong dan selalu berbagi dalam kehidupan. 

Menurut Kefin J Zahnle dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (Ames Research Center NASA) mengemukakan penelitiannya bahwa bumi seumpama ember raksasa, berbenturan dengan benda langit yang mengandung es dan kemudian menguap di atmosfer bumi. Uap air tersebut mengembun menjadi air saat bumi mendingin. Dalam proses berikutnya, tiga perempat air tersebut ‘lenyap’, memecah diri menjadi unsur hidrogen dan oksigen yang sebagian tersimpan dalam batuan inti bumi. 

Namun teori lain dan berbeda diungkapkan seorang Guru Besar, Prof. Iain Stewart dari Geoscience Communication di School of Earth, Ocean and Environmental Sciences, Plymouth University, menurutnya, sistem gunung api dan komet merupakan faktor utama asal mula air di bumi. Air muncul dari proses vulkanik, melalui sebuah peristiwa yang berlangsung bagai ‘neraka’. Unsur-unsur air terangkat dari inti bumi. Saat bumi mendingin, selama ribuan tahun hujan dan tercatat sebagai hujan terlama sepanjang sejarah bumi. Separuh lautan terbentuk. Lautan baru penuh terisi saat komet menghujani bumi. Dengan volume air sekitar 1,33 miliar kilometer kubik, lautan berperan sebagai mesin pengatur iklim dan sumber kehidupan yang amat kaya bagi makhluk bumi. (Kompas, 6/2/2013). 

Dalam pandangan agama, khususnya Islam, tidak ada keterangan jelas tentang asal diciptakannya air kecuali informsi bahwa Allah menurunkan air dari langit sebagaimana firman-Nya. “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih,(QS. Al-Furqan, [25]:48). Serta berbagai macam keutamaannya, seperti air dihadirkan oleh Allah sebagai rezeki, (QS. Al-Baqarah [2]:22). Tapi air bukan hanya sekadar rezeki, melainkan juga merupakan tanda-tanda keKuasaan dan keEsaan Allah yang wajib dibaca dan dipelajari agar dapat menangkap pesan moral, (QS. Ad-Dzariyat [51]:20-21). 

Air adalah sumber kehiduapan, waj’alna minal maa’i kulla syai’in hayyin, dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup, (QS. Al-Anbiya’ [21]:30). Air berfungsi menumbuhkan tanaman, menyuburkan tanah, dan menjaga kelangsungan hidup umat 

manusia. Manusia juga tercipta dari air, “Bukankah Kami telah menciptakan kamu dari air [mani] yang hina?” (QS. Al-Mursalat [77]:20). 

Manusia dewasa bisa bertahan hidup sekitar sebulan tanpa makanan, namun ia hanya bisa bertahan 9-10 hari jika tubuhnya tidak mendapat asupan air. Telur yang dibuahi pun tumbuh dan berkembang menjadi bayi dalam rahim yang hangat serta nyaman dengan berlimpah air ketuban. Air ketuban setidaknya menghindarkan bayi dari rasa sakit akibat benturan langsung. Tubuh manusia terdiri dari atas susunan sel-sel hidup yang penuh air. Kemampuan air melarutkan berbagai subtansi membuat kita mampu menyerap mineral, berjenis nutrisi, dan bahan kimia berguna. Air merupakan bagian utama tubuh semua makhluk hidup. Berat air dalam tubuh bisa mencapai 90 persen berat tubuh organisme. Sekitar 70 persen komposisi otak manusia adalah air, diukur dari beratnya. Jaringan otot halus mengandung air sekitar 75 persen. Lemak tubuh mengandung 22 persen air, sekitar 83 persen darah kita adalah air, untuk membantu mencerna makanan, mendistribusikannya ke seluruh tubuh lalu mengangkut kembali sisa-sisa yang tak tercerna, sekaligus mengendalikan suhu tubuh. Otot yang bersih dari lemak mengandung lebih banyak air. Tubuh anak-anak lebih banyak mengandung air dari pada manusia dewasa, demikian pula tubuh laki-laki berbanding wanita, dan orang kurus berbanding orang gemuk.Tiap hari, sekitar 2,4 liter air berganti dari sistem tubuh manusia. Air selalu dan sangat bermanfaat bagi manusia, karena itu manusia harus belajar dari filosofi air, Rasulullah menegaskan bahwa ‘Kharunnaas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya’, (HR. Ahmad) 

Karakter air memang unik, tak pernah bisa dipecah atau dihancurkan, bahkan ia akan menenggelamkan benda-benda keras yang menghantamnya dan menghanyutkan dilain waktu. Hanya bisa pecah saat ia mengeras dan membeku. Mencair, mudah meresap, menguap jika panas, lalu turun untuk menyejukkan. 

Filosofi cair dapat berguna jika seseorang menghadapi masalah, jika mengeras dan membatu, maka akan pecah berkeping-keping. Air tidak hanya ada di dunia, namun juga di akhirat. Dalam sebuah riwayat, ketika manusia dihimpun di padang makhsyar, antre untuk disiasat satu persatu, bermula dari Nabi Adam hingga manusia terakhir, kala itu matahari hanya sejengkal di atas kepala. Tidak sedikit yang berenang dengan air keringat karena terik matahari yang tak terhingga panasnya. Ketika melewati proses hisab, terdapat telaga yang disediakan bagi mereka yang telah selamat, telaga yang luasnya sejauh perjalanan satu bulan, warna airnya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Ketika berada di surga, penghuninya juga tak pernah lepas dari air sebagai daya tarik utama “Perumpamaan penghuni surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring.” (QS. Muhammad [47]: 15). 

Kembali ke dunia, air mengikuti harmoni alam ‘sunnatullah’, tunduk dan patuh pada perinsip ekosistem dan keadilan, (QS. Arrahman [55]:7). 

Ketika hujan mengguyur bumi, maka air berhak atas tempat dan resapan, jika tidak ada tempat sebagai resapannya akibat dari rusaknya ekosistem karena ulah manusia, seperti penggundulan hutan, pengerukan bumi, pembangunan tak terkendali, rumah kaca kian marak, pendangkalan sungai, penyumbatan got –daftarnya terus bertambah—maka air pun protes, 

stres, lalu mengamuk, dan terjadilah musibah banjir dan tanah longsor yang merugikan manusia. Allahumma shoyyeban nafi’an, ya Allah jadikanlah hujan ini bermanfaat! 

Air memang hajat yang penting. 

Tanpa air, tak akan ada kehidupan. Tanpa kehidupan, tak akan ada manusia yang melahirkan kebudayaan. Bagi orang-orang Nusantara, air memiliki berbagai dimensi. Filosofi hidup lahir dan berkembang seiring kesadaran akan kebutuhan dan pentingnya air. Air menentukan kehidupan mereka secara spatial, merasuki pikiran mereka secara falsafah, dan menggiatkan kehidupan mereka secara teknik. 

Tak dapat disangkal lautan mengepung daratan. Pulau yang tersebar, disatukan oleh air laut yang berombak. Daratan yang tak berair disuburkan oleh sungai yang mengalir. Maka kehidupan lahir di bibir pantai, pesisir. Dan kebudayaan hidup,tumbuh dan berkembang di bantaran, sungai-sungai. 

Kebudayaan sungai tumbuh dengan kepercayaan akan perlunya menjaga air. Pentingnya air, disimbolkan secara spatial dalam penamaan daerah-daerah di beberapa wilayah. Di Pasundan, hampir semua kota dan desa memakai nama yang berawalan ci – , yang berarti air, atau pun bisa diartikan sungai. Pada masyarakat Melayu atau Minangkabau, terdapat banyak tempat yang menggunakan nama air, seperti Air Bangis dan Air Hadidi. Setali tiga uang dengan yang disebut sebelumnya, masyarakat Jawa juga menamakan beberapa daerah dengan nama air, sebut saja Banyumas dan Banyutibo. (Sumardjo, Jakob. Kompas, 14/11/09). 

Bagi masyarakat Palembang, air bahkan memiliki peran penting dalam menentukan letak pemukiman. Sifat air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat rendah dijadikan falsafah hidup masyarakat. Mereka mengenal konsep ulu-ulak (hulu-hilir). Dalam konsep ini dikenal adanya aturan bahwa pendirian rumah yang pertama dalam suatu perkampungan harus terletak di hulu. Konsep ini memberikan suatu penghargaan atau penghormatan kepada orang yang lebih tua untuk tinggal di bagian yang lebih tinggi. Hal ini berarti, peran orang tua sebagai pengayom bagi yang lebih muda. (Purwanti, Retno: 2010). 

Pemahaman terhadap pemaknaan air, memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Pada zaman Hindu, air disebut sebagai tirta amerta. Tirta adalah air. Sedangkan amerta adalah bentuk negasi dari merta, kematian. Jadi berarti, tirta amerta adalah air antikematian, lazimnya, air kehidupan. 

Bagi masayarakat Sunda, gejala tirta amerta dapat disimak dari gejala budaya mereka. Di Priangan, yang hidup di wilayah hulu sungai banyak memberikan warna pada irama degung. Lagu-lagu klasik degung menggambarkan lingkungan budaya perairan sungai, seperti degung sang bango, galatik manggut, marintin dan lalayaran. (Kompas. 25/6/10) Air pun mempengaruhi falsafah masyarakat dalam ritus dan upacara kepercayaan. Bagi masyarakat Sunda, mata air dalam tempat-tempat tertentu, seperti delta-delta sungai adalah disebut mata air kabuyutan yang keramat dan dipercayai mendatangkan berkah. 

Dalam ritual-ritual kampung, tak jarang nasi atau bubur yang akan dijadikan kenduri bersama harus dimasak menggunakan air kabuyutan ini. Hal ini berarti air merupakan berkah hidup yang akan membawa kelestarian hidup di dunia. 

Bagi masayarakat Sunda Puhun, air bermakna kosmik perempuan. Perempuan adalah kehidupan itu sendiri. Tidak ada perempuan tidak ada air, tidak ada air tidak ada kehidupan, 

yang ada hanyalah kematian. Kedudukan perempuan dalam masayarakat Sunda Puhun sama terhormatnya dengan mereka yang menghormati air kehidupan. 

Perempuan bukan dilihat dari segi seksualitasnya, namun dari segi keibuannya. Budaya air di Pasundan merupakan siklus alamiah yang menyatukan curah hujan, sungai, hutan, dan ladang. Yang faedahnya berguna bagi kehidupan dan kelestarian. (Sumardjo, Jakob. Kompas, 14/11/09) 

Di Pulau Bali mengenal konsep Tri Hita Karana. Konsep ini biasanya hidup pada organisasi pengelola pengairan pertanian yag dikenal dengan nama subak. Subak sendiri diperkirakan dikenal sejak abad kesembilan, seperti tersurat dalam prasasti Raja Purana yang berangka tahun saka 994 atau 1072 Masehi. Tri Hita Karana adalah sebuah tatanan nilai. Ia dimaknakan sebagai ‘tiga penyebab kebahagiaan’, mengajarkan pada manusia untuk mengharmoniskan hubungannya secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal dalam bentuk bhakti, sujud kepada sang pencipta, sedangkan dalam dimensi horizontal terwujud dalam perilaku asah-asih-asuh terhadap sesama manusia dan peduli pada lingkungan. 

Dalam masyarakat Bali yang agraris, Tri Hita Karana menjelma dalam perilaku keseharian seorang petani sebagai pusat pelaku atau subjek budaya berupa parhyangan, pawongan dan palemahan. Parhyangan berarti pembangunan dan penjagaan kawasan hulu air. Pawongan berarti pemenuhan rasa adil dan kerukunan di antara sesama. Palemahan secara konkrit terwujud dalam pemeliharaan hal-hal pertanian, seperti lahan garapan dan saluran irigasi air. (Sumarta, I Ketut: Kompas, 4/6/94). 

Air dan Budidaya 

Walau menyadari pentingnya air dalam kehidupan, sebagian masyarakat Jawa menganggap lingkungan perairan, khususnya laut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Dalam masyarakat pantai bagian selatan Pulau Jawa, laut merupakan hal sakral yang bermitos menyeramkan. Dalam wayang topeng, tokoh “raja seberang” perairan selalu dikemukakan dengan wajah merah padam dan mata membelalak, sebab ia menjelmakan sifat kasar, bahkan sifat buas. Legenda Nyi Roro Kidul lebih menegaskan pandangan mereka bahwa harus lebih berhati-hati jika tidak ingin diambil masuk ke pusaran istananya. (Lombard, Denys: 1996). 

Bagaimanapun air tetap hajat terpenting bagi kehidupan. Berbagai upaya rasional yang membuktikan pentingnya air terus diupayakan. Air dibudidayakan demi keberlangsungan kehidupan. Dalam dimensi waktu, air merupakan persoalan yang terus diupayakan kelestariannya dari waktu ke waktu. Air dijaga agar berguna bukan memusnahkan dan mendatangkan bencana. Pada era Majapahit (abad keempat belas), terdapat banyak waduk yang mengelilingi kota. Trowulan, sebagai ibukota kerajaan, telah dilengkapi dengan kolam buatan, kanal-kanal, dan waduk untuk mengelola air di daerah itu. Selain sebagai irigasi, waduk-waduk itu berguna sebagai pengatur air dan pencegah banjir. 

Nonot Sukrasmono

Presidium Dewan Kesenian Jawa Timur | Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama Jawa Timur