Masih Dari Pelabuhan Yang Sama

Pada pengujung abad ke-19, opera Melayu dan komedi stambul digelar hampir tanpa jeda di sudut utara kota Surabaya. Aktor-aktor opera dari Perancis dan Italia, pesulap Amerika, pemain sirkus dari Inggris, serta pemain akrobat dari Jepang dan Australia didatangkan ke Surabaya melalui pelabuhan Tanjung Perak. Mereka, para seniman pertunjukan keliling (traveling showmen) itu, singgah hampir di tiap pelabuhan dunia yang dibuka dan buru-buru dipoles oleh hasrat kolonial. Mereka didatangkan untuk menghibur dan menyenangkan orang-orang yang katanya berasal dari dunia pertama ke tempat yang mendapatkan julukan seenaknya sebagai dunia ketiga. 

Bersamaan dengan ituseorang juru program pemutaran gambar bergerak berada di antara para seniman pertunjukan tersebut. Si juru program tak melepaskan pandangannya pada sebuah kotak kayu besar yang berisi peralatan pemutaran agar tak tertukar dengan peralatan para seniman pertunjukan yang ada di kapal yang sama. Ia tak terlibat percakapan akrobatik dengan para seniman pertunjukan, tapi ia tahu bahwa medium baru yang dibawanya kelak akan mengganggu bisnis pertunjukan dan hiburan klasik yang telah mapan. Begitu si juru program menjejakkan kaki di pelabuhan, ia sudah tahu di mana bakal melakukan program pemutaran pertamanya. Bedanya, ia tak sampai menyisir kota kecil dan pelosok desa seperti yang dilakukan oleh para seniman pertunjukan keliling. Si juru program hanya berhenti di kota besar yang sudah siap dengan kedatangan medium baru yang ia bawa.

Adalah Louis Talbott, seorang fotografer Perancis yang mendapatkan izin dari pemerintah kolonial untuk melakukan pemutaran gambar bergerak pertama secara komersial di Surabaya pada pertengahan hingga akhir April 1897. Ia melakukan program pemutaran di gedung Surabaya Theatre (Schouwburg) yang berada di kawasan pemukiman Eropa di Surabaya. Gedung teater mewah yang dibangun dengan biaya sebesar 55 ribu gulden itu adalah satu-satunya gedung yang sudah memiliki alat pemutar gambar bergerak. 

Program pemutaran Talbott diawali dengan memutar film dokumenter tentang kapal-kapal dagang Eropa yang mendarat di Hindia Belanda, yang mana salah satu scene dalam film itu dipercaya sebagai hasil rekaman Georges Méliès—seorang pesulap panggung dan ilusionis asal Perancis yang baru mulai menjajal peruntungan lain dalam karirnya sebagai seorang pembuat film. Program itu dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter yang dibuat oleh Talbott sendiri saat melakukan perjalanan mengelilingi pulau Jawa dan Sumatera pada Oktober 1896, atau hanya selisih sepuluh bulan sejak Lumière Bersaudara merilis pemutaran film komersial pertama di dunia pada 28 Desember 1895 di Perancis. 

Pemutaran perdana Talbott berhasil, definisi seni pertunjukan mulai goyah, wajah kaku kota Surabaya  juga mulai berubah. Dibanding dengan Batavia yang terkenal kosmopolitan dan “tempat duduk pemerintah”, Surabaya hanya dikenal sebagai kota dagang dan pangkalan militer Belanda. Salah satu hal yang membuat kita mengambil jeda saat mengutuki pendudukan kolonial Belanda adalah, mungkin, karena Tanjung Perak ternyata tak hanya berlaku sebagai pintu keluar yang membawa pergi komoditas paling gurih dari nusantara untuk dijajakan dengan akumulasi nilai yang hampir tak terhingga di belahan dunia yang lain. Tanjung Perak—sebagai pelabuhan yang setia kepada siapa saja yang hendak mengangkat sauh untuk berlayar maupun kepada siapa saja yang hendak bersandar—juga menjadi pintu masuk bagi capaian-capaian manusia dari belahan dunia yang lain; masuknya teknologi alat rekam dan pemutar gambar bergerak yang membuat Surabaya menjadi salah satu kota yang menjadi lokasi awal pemutaran gambar bergerak di Asia.

Tak lama dari pemutaran perdana di Surabaya Theatre, gedung pemutaran lainnya mulai muncul. Seorang Tionghoa pengusaha batu permata di Pasar Kapasan membuat gedung pemutaran bernama Kenotograph. Surabaya Theatre boleh saja bangga dengan gedung mewah, pencahayaan mumpuni, dan sirkulasi udara yang lancar. Kenotograph percaya diri menawarkan hal lain: furnitur baru dan variasi harga tiket pemutaran. Jika menonton di Surabaya Thetare dipatok sebesar 1 gulden, Kenotograph hanya separuhnya, bahkan ada pilihan harga sebesar 25 sen untuk kursi kelas tiga. 

Menonton gambar bergerak menjadi aktivitas baru. Para elit pemerintah kolonial, aristokrat, priyayi lokal dan bangsa pendatang Asia di Surabaya mulai menggandrungi klangenan baru ini. Di luar gedung teater, mereka terkagum-kagum dengan proyektor film buatan Lumière Bersaudara yang bernama cinematographe yang mampu menghasilkan gambar hidup setelah diproyeksikan ke sebuah layar. “Kami tidak kecewa, dan sangat menikmati apa yang kami lihat di dalam,” kata salah seorang penonton kepada Surat kabar Soerabaijasch Handelblad edisi 23 Desember 1909. Penonton tak sepenuhnya mengerti, tetapi pengalaman menonton gambar bergerak (atau gambar hidup) memberikan kesempatan untuk menerka zaman yang tak henti-hentinya memberikan kejutan peradaban—seperti kehadiran mesin cetak yang turut andil menyebar gagasan soal entitas politik. 

Orang-orang yang tak kebagian atau tak diperbolehkan menonton di gedung teater karena berasal dari kelas sosial rendahan mulai menggerutu. Tempat-tempat pemutaran di luar gedung teater yang mewah mulai digagas oleh para pengusaha Tionghoa dan India yang melihat peluang ekonomi dari bisnis hiburan menggiurkan ini. Tempat pemutaran tak melulu soal gedung; tenda-tenda kanvas dan bambu sebagai tempat pemutaran mulai dibuat. Perubahan radikal atas venue pemutaran adalah sebuah respon untuk menyiasati ruang yang justru memberikan pengaruh terhadap rencana tata kota, transportasi, dan pajak untuk tempat hiburan publik pada masa kolonial. 

Kita selanjutnya tahu bahwa film yang dibawa Talbott telah menjadi penanda zaman. Ia masuk dari pelabuhan kota besar bernama Surabaya, mengurai rantai peristiwa mulai dari dihasilkannya teknologi pemutar gambar bergerak di tengah Perang Dunia I hingga tumbuhnya minat orang-orang akan medium baru yang membuat program pemutaran menjadi salah satu pilihan hiburan di era kolonial. Merambat naiknya bisnis pemutaran di Surabaya mulai dari tenda kanvas dan bambu hingga gedung-gedung mewah yang merangsang mobilitas penonton (spectators) memberi petunjuk kepada kita soal evolusi awal lanskap urban kota Surabaya beserta politik identitas yang tak selamanya berhasil dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Tamu dari Luar Pelabuhan

            Lebih dari seratus tahun sejak Talbott menjejakkan kakinya di Surabaya, Tanjung Perak dan film masih menjadi jembatan yang menghubungkan ikatan historis antara Indonesia dan Belanda. Adalah Yunjoo Kwak, seorang seniman dari Korea Selatan yang tinggal di Amsterdam, yang mencoba mengurai ikatan historis itu. Ia juga mencoba untuk mengungkai bangunan narasi sejarah melintasi pelbagai disiplin ilmu—sebuah proses yang tentu saja memiliki risiko merosot menjadi narasi “eklektik” yang berkutat pada praktik otak-atik gathuk hanya karena minimnya pengetahuan dan ketidakmampuan untuk mengartikulasikan tentang apa yang mesti dikaji lebih lanjut dalam penelitiannya. 

            Melalui Only The Port are Loyal to Us, Yunjoo memberi kesempatan kepada kita agar tak mudah tergoda kepada pola retrospektif seperti yang biasanya ditawarkan oleh film bermuatan sejarah—atau seperti saat banyak pihak yang menyatakan bahwa film bermuatan sejarah adalah sebatas “film yang menyajikan sesuatu yang sudah lampau”. Bahwa petunjuk-petunjuk (evidence) yang masih bisa dirujuk hingga hari ini membuat kita memahami sejauh mana garis batas antara peristiwa, cerita, arsip, dokumen, dan refleksi alegoris dalam film.

            Alih-alih memilih bentuk naratif, Yunjoo menyajikan dokumenter eksperimental yang ia susun dengan menubrukkan footage tentang Tanjung Perak yang lampau dengan yang kini. Yunjoo membiarkan filmnya berseloroh melalui kebisuan yang ditopang oleh animasi dan scoring hampir di sekujur durasi. Yunjoo, tampaknya, ingin membagikan pengalaman visual dalam pengertiannya sebagai tahap tingkat lanjut—di mana publik yang menonton tidak hanya menikmati sajian visual semata, tetapi juga meninjau apa saja yang coba ditampilkan secara visual. Pengalaman visual seperti itu menjadi penting hari ini karena ini seperti menarik kita kembali kepada perdebatan tentang bagaimana “kebenaran” bekerja. 

            Saya sedikit menyegarkan kembali ingatan kita akan perdebatan filosofis antara kebenaran korespondensi dengan kebenaran koherensi. Jika kebenaran korespondensi menyoal bahwa kebenaran mesti sesuai dengan realitas di luar sana, maka kebenaran koherensi memandang bahwa kebenaran adalah sesuatu yang utuh pada bangunannya sendiri tanpa harus sesuai dengan realitas di luar sana. Untuk memperkaya perdebatan itu saya juga menyertakan konsep kebenaran nonrepresentasional atau kebenaran infinitif: bahwa segala bentuk pengetahuan memiliki derajat yang sama status kebenarannya. Tujuan saya mengetengahkan perdebatan filosofis ini agar membuat kita mafhum mengenai cara pandang atas konsep kebenaran yang masih saja terbatas oleh campur aduk entitas. 

            Only The Port are Loyal to Us adalah jembatan cerita yang menghubungkan memori kolektif atas peristiwa dari zaman kolonial hingga hari ini. Tentang bagaimana relasi subyek-obyek yang meski terpaut perbedaan zaman dan jarak masih memiliki kesempatan untuk menerka apa saja yang telah terjadi pada masa lampau dan pengaruhnya pada masa kini. Sebagai jembatan cerita, karya Yunjoo adalah penghubung yang mengantarkan kita menengok kembali kepada sesuatu yang sebenarnya tak pernah benar-benar jelas: sejarah. Saya menggunakan kata “jembatan” sebagai metafor seperti bagaimana Yunjoo memilih “pelabuhan” dan “film” dalam peranannya menjadi penghubung, atau dalam hal ini, mungkin, kita bisa bersepakat menggunakan kata medium. 

            Sebagai medium, Yunjoo mestinya sadar bahwa ia tak mungkin berhasil mencakup keseluruhan detail peristiwa dan “kebenaran” seperti bagaimana klaim-klaim sepihak atas sejarah yang tak mungkin bebas dari kecenderungan cara bertutur tertentu. Menyampaikan “kebenaran” sejarah, seturut yang saya tahu dan pelajari, tak akan pernah bisa menyamai detail peristiwa sejarah itu sendiri—sehingga setiap usaha membuka tabir sejarah yang diklaim sebagai “kebenaran” yang persis sama dengan peristiwa sejarah itu sendiri nyaris tak mungkin dilakukan. Pada titik ini, medium hanya membantu kita untuk merujuk peristiwa dan menerka kadar informasi yang disampaikan sebagai kepingan-kepingan yang melengkapi untuk dibaca atau direkonstruksi ulang, bukan diyakini sebagai satu-satunya warta “kebenaran” atas sejarah.

            Ketika sampai pada tahap seperti ini, medium film, seperti yang dipilih oleh Yunjoo ini menjadi relevan dibahas sebagai salah satu pilihan bertutur yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan agar tidak terjebak seperti saat kita membaca teks sejarah yang dianggap monumental dan otoritatif. Bahwa sejarah bisa disampaikan dengan lentur, menyangkut hal-hal yang keseharian dan sepele, bahkan pada titik tertentu kabur antara mana yang dokumenter dengan fiksi—dengan catatan bahwa kaburnya batas ini diartikan sebagai upaya agar tak buru-buru mengandaikan bahwa apa yang disampaikan melalui medium adalah kebenaran yang utuh dan mutlak. 

            Yunjoo, dan mungkin, kita yang menyaksikan karya Yunjoo, adalah tamu dari luar pelabuhan yang memiliki kesempatan untuk mengamati benturan teks sejarah yang lampau dan kini. Melalui pengandaian metaforis yang bisa saja bernama pelabuhan atau jembatan yang disulih ke dalam medium film, kita tidak sedang berada pada pengalaman aksiomatik, melainkan liminal. Pengalaman berada di ruang liminal memberikan kita status ketaksaan: yang tidak bertempat “di sini” atau “di sana”. Status ketaksaan ini membuat kita menjadi seorang tamu, seorang asing, yang berhak mendapat dan mengolah cerita, tapi tak punya hak untuk mendaku sebagai yang paling tahu soal kebenaran cerita tersebut.

             Status ini pula yang nantinya bisa digunakan sebagai kritik atas cara kerja ilmu sejarah saat mematok obyektivitas dan menyulihnya ke dalam pelbagai pilihan medium. Sebagaimana Julian Barnes pernah menyatakan bahwa, “Sejarah adalah kepastian yang dihasilkan ketika ketidaksempurnaan ingatan bertemu dengan kekurangan dokumentasi.” Bahwa terkadang sejarah dianggap sebagai kepastian tepat di saat pijakannya sendiri tidak utuh. Bahwa Yunjoo sendiri juga harus bersiap menerima kritik dan mampu mengartikulasikan gagasannya soal sejarah berdasarkan pertautan memori dan monumen peninggalan kolonial yang menjembatani hubungan Indonesia-Belanda, tepat di saat medium hanya bisa menampilkan keping-keping kebenaran.

            Dengan memilih medium film dibanding pilihan medium lainnya, Yunjoo juga mestinya sudah beranjak dari apa yang dilakukan Talbott ketika pertama kali melakukan program pemutaran di Surabaya. Ia tak cukup hanya mendokumentasikan hiruk pikuk kapal-kapal di pelabuhan dan perjalanannya dari Belanda ke Indonesia. Ia tak cukup hanya dengan melakukan program pemutaran dan eksebisi, ia juga mesti cerewet menyoal praktik dan cara pandang kolonial yang sampai hari ini masih mendera masyarakat Eropa dan menularkannya kepada masyarakat Asia, terutama terkait soal pengelolaan dokumen, arsip, dan kenyamanannya sebagai juru bicara yang otoritatif soal sejarah. 

*Tulisan ini adalah versi bahasa Indonesia dari The Port Remain the Same yang saya tulis dan menjadi bagian dari Pameran Yun Joo Kwak yang bertajuk Only The Port are Loyal to Us. 

Yogi Ishabib

Department Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur