Madura Masa Sekarang
Madura merupakan salahsatu bagian dari wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia secara Astronomi terletak di sebelah timur laut Jawa Timur, luas wilayah ± 5.168 km², dengan penduduk hampir 4 (empat ) juta jiwa. Madura mempunyai nilai history yang sangat panjang, dengan melalui proses perkembangan kehidupan sosial /peradaban masyarakat Madura secara umum sehingga kaya akan nilai- nilai socio culture yang unik, hingga saat ini Madura mempunyai perbedaan culture / budaya yang signifikan dengan Daerah lain khususnya Jawa, walaupun kita klasifikasi dalam satu rumpun masyarakat Jawa khususnya rumpun masyarakat Jawa Timur. untuk sampai tujuan pulau Madura harus melintasi selat Madura, dulu pada saat pra jembatan Suramadu apabila mau ke Madura dari arah Surabaya harus melalui sarana transportasi laut melalui Pelabuhan Tanjung Perak menuju Pelabuhan Kamal wilayah Kabupaten Bangkalan dan bahkan hingga saat ini masih berfungsi sebagai sarana penyeberangan masyarakat Madura yang bertujuan Surabaya – Madura atau sebalikya dengan melalui jasa transportasi kapal Verry ( khususnya bagi masyarakat Kamal dan sekitarnya yang jangkauannya lebih dekat dengan Pelabuhan kamal)kapal Verry tersebut, orang Madura menyebutya kapal “Tongkang” yang bermuatan orang dan kendaraan bermotor serta barang.
Adanya sarana pelabuhan Tanjung Perak atau dikenal dengan sebutan “Ujung” dan Pelabuhan Kamal dikenal dengan sebutan “Kamal” ada sejak dulu bahkan sebelum masa penjajahan Belanda di pulau jawa, tentunya saat itu tidak sesempurna saat ini masih berupa semak- semak belukar. alat transportasi Madura pada masa lalu sangat populer saat itu adalah transportasi laut dan darat bahkan dikisahkan dalam sebuah buku sejarah “TJARANJA PEMERINTAHAN DIDAERAH-DAERAH DIKEPULAUAN MADURA DENGAN HUBUNGANNJA” oleh ZAINAL FATTAH yang kita analogikan bahwa alat transportasi tempo dulu, masa awal terbentuknya Pulau Madura ± Tahun 1200, saat itu hanya transportasi laut yakni kapal layar (BM. kapal lajhâr), sampai saat ini secara tutur tinular disampaikan bahwa nenek moyang atau para leluhur orang Madura adalah “ Pelaut” indikatornya dapat kita temukan pada setiap bangunan Rumah Adat Madura “Tanèyan Lanjhâng“ ataupun rumah adat Limasan pada bagian atas rumah terdapat “Jhângghâr” atau (kamoddhi prao = kemudi perahu) sebagai simbul ketokohan sang penghuni ( penghuni rumah adalah seorang tokoh yang di hormati ).
Dalam sebuah hasil penelitian / study antropologi ekonomi dan islam oleh Huub de Jonge dikatakan bahwa “Pulau itu dipisahkan dari Jawa oleh selat Madura yang menghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali. moncongnya di barat laut, karena bentuknya disebut corong, agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut. Sejak jaman dahulu kala, corongnya merupakan suatu daerah pelabuhan penting di Jawa, dimuara Sungai Lamongan dan Brantas terletak kota perdagangan Gresik dan Surabaya. Diantara tahun 1400 dan 1600, kedua pantai ini dengan Tuhan yang letaknya lebih kebarat, merupakan pusat perdagangan Jawa Timur dengan daerah seberang laut. Surabaya adalah pelabuhan ekspor yang antara lain mengekspor beras dan garam. Gresik merupakan pangkalan perdagangan yang besar bagi rempah-rempah dari kepulauan Maluku. Dikota – kota tersebut bermukim para pedagang , Da’I India, Cina, Persia, semenanjung Arab dan dari beberapa bagian Asia Tenggara.” Selanjutnya disampaikan pula bahwa ; di pelabuhan alam itu adakalanya berlabuh ratusan kapal dengan daya muat 20 sampai 200 ton. Dipelabuhan ini pada paroh kedua abad ke 15, penyebaran agama Islam dimulai di Jawa dan Madura.
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, Madura yang dulunya dikenal oleh masyarakat diluar Madura, sebagai daerah tandus nan gersang serta dihuni oleh masyarakat yang mempunyai karakter yang keras dan diperkuat oleh ilmu pengetahuan sejarah yang merupakan Mata Pelajaran Sekolah Tingkat SD,SMP dan SMA saat itu yakni tentang makanan pokok orang Madura adalah “Jagung” secara gradual telah bergeser pada satu nilai kemajuan dan bahkan pada masa sekarang hampir tidak ada orang Madura yang bercocok tanam Jagung secara rutin seperti sediakala, artinya satu nilai perkembangan peradaban telah dapat mewarnai budaya Madura itu sendiri. Adapun sistem tata kelola pemerintahannya serta pengelolaan wilayah adminstratif merupakan warisan dari masa pemerintahan penjajahan Belanda (VOC) sampai saat ini, sebagai bukti history antara lain ; Madura terdiri dari 4 ( empat ) Kabupaten,diruntun dari ujung barat, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep, sebagai pusat Madura adalah Kabupaten Pamekasan, sejak dulu sampai saat ini mulai dari istilah ibukota Karesidenan Madura ( Ensiklopedi Pamekasan. pada abjad ”K” 157 – 159 ) sampai dengan istilah “Badan Koordinasi Wilayah Pamekasan” saat ini, namun saat ini jangkauan wilayahnya lebih luas, yaitu meliputi : 4 (empat) Kabupaten di Madura dan ditambah Daerah Surabaya Utara, Sidoarjo, Gresik dan Mojokerto. Dengan demikian dapat kita analogikan bahwa dalam perkembangan soscio culture Madura akan banyak mengalami pergeseran nilai secara masif karena Madura bukan lagi satu wilayah yang terisolir / tersendiri sehingga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan socio culture Madura itu sendiri.
Madura kaya dengan nilai – nilai seni budaya tradisional sebagai warisan leluhur yang sampai saat ini masih dapat kita nikmati bersama. Seni budaya Madura mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan seni budaya daerah lain walaupun dalam satu rumpun di wilayah Jawa Timur sehingga dapat dikatakan bahwa seni budaya Madura merupakan “simbul’ karakter orang Madura yang lugas, tegas dan bertanggung jawab dengan berlandaskan nilai- nilai norma agama. Ada banyak hal yang dapat kita amati bersama dari nilai simbul yang melekat dalam suatu karya seni budaya Madura misalnya kegemaran / kesenangan orang Madura terhadap warna antara lain ; orang Madura senang terhadap warna- warna kuat/ menyolok seperti warna “ Merah, Kuning, hijau (BM; Mèra, Konèng, Bhiru ) dan warna dasar seperti ; Hitam dan Putih ( BM; Celleng, Potè ) hampir seluruh karya seni budaya yang terkait dengan acesories color/ warna dominan warna menyolok/ warna terang, seperti “ Klèlès Sapè Kerrap” ( property karapan Sapi ), Pakaian adat Madura ( Pèsa’ Gombor ) dan ukiran Madura dan karya batik Madura dominan warna menyolok/ warna terang sebagai ciri khas Madura.
Membahas tentang Madura takkan pernah kehabisan materi, karena Kata “Madura” oleh sebagian besar orang di artikan “Maddhuna Saghârâ” = “ Madunya Segara”. Apabila kita simak dari sisi bahasa sehari- sehari ( bahasa Ibu) runtun dimulai dari Madura wilayah timur, yaitu Kabupaten Sumenep – Kabupaten Pamekasan – Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bangkalan mempunyai karakteristik yang berbeda baik ; dari logat / intonasi ataupun dalam tatanan kehidupan sosialnya, sehingga dapat kita klasifikasi sebagai berikutKabupaten Sumenep = halus – Kabupaten Pamekasan = agak halus – Kabupaten Sampang = Kasar dan Kabupaten bangkalan = agak kasar, namun demikian hal tersebut tidak dapat kita pungkiri bahwa hal tersebut cepat ataupun lambat nilai- nilai tersebut akan tergeser seiring perkembangan peradaban manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi manakala para generasi tidak diberi landasan kuat untuk mencintai seni budayanya sendiri. Masih segar dalam ingatan kita tentang rencana pembangunan Jembatan Suramadu pada konsep dasarnya berasal dari seorang tokoh Madura “RP. MOH. NOER” diceritakan pada masa kekuasaan “Orde Baru” diera 1970 an saat beliau menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur diusulkanlah konsep sarana penyeberangan sebagai penghubung Madura d besar engan Surabaya dikalangan internal keluarga RP. Moh. Noer baik di Kabupaten Sampang maupun di Kabupaten Pamekasan ramai dibicarakan karena beliau berasal dari kedua wilayah tersebut saat itu yang berkembang tentang penolakan konsep jembatan penghubung antara Madura dan Surabaya oleh Presiden Soeharto namun demikian beliau tetap dalam sebuah keyakinan yang kuat bahwa ‘ suatu saat nanti akan dapat terwujud jembatan Surabaya – Madura” demikian ungkapan beliau ketika sedang bersilaturrahim dengan sanak keluarga di Madura sehingga muncullah anekdot yang berkembang di kalangan masyarakat Madura diwilayah Jawa Timur dan sampai saat ini masih dikenal oleh masyarakat luas, dikisahkan, ; ada seorang tukang becak berasal dari Madura di Surabaya, sedang mendapat penumpang dari Jalan Jembatan merah menuju kantor Gubernur, kemudian penumpang tersebut mencoba berdialog dengan tukang becak yang sedang mengayuh becaknya ; penumpang : “ bapak berasal dari mana” dengan logat Madura yang kental si tukang becak menjawab dengan sigap “ Madurra …pak “ kemudian penumpang kembali bertanya; “ Madura mana Sampang ? si tukang becak menjawab dengan nafas tersengal …. selanjutnya penumpang bertanya lagi ; “siapa gubernurnya sekarang pak ? dengan sigap dengan suara nafas tersengal semakin keras, Tukang Becak menjawab dengan tangkas “ Pak Noer … pak” sang penumpang kaget “ lho” ….bukan pak sekarang ini Gubernurnya Pak Basofi” …… dengan cepat pula tukang becak menjawab “itu kan gantinya ….yang benar itu Pak Noer” si penumpang senyum simpul …sambil lalu turun dari becak yang ditumpanginya karena telah sampai tujuan. Konteks ini dapat kita analogikan bahwa ; begitu kuat nama seorang tokoh mantan pejabat publik melekat di hati masyarakatnya karena sepengetahuan penulis bahwa walaupun dalam kondisi purna beliau (almarhum) tetap mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat.
Kondisi Madura saat ini tentunya telah mengalami perkembangan yang sangat pesat apalagi ditunjang dengan adanya infra struktur jembatan Suramadu, sebagai sarana penghubung antara Madura dan Surabaya, kondisi ini nyata telah bergeser dari nilai socio culture dikatakan dulu sebelum adanya sarana jembatan suramadu apabila orang Madura bepergian ke jawa atau ke Surabaya orang Madura mengatakan “Ongghâ = Naik“ saat ini masyarakat Madura tidak lagi mengatakan hal tersebut namun cukup dengsn menyebutkan kota tujuan, tentunya tidak dapat kita pungkiri pula bahwa dalam sebuah pengaruh pekembangan peradaban manusia yang diiringi oleh perkembangan teknologi ada plus minusnya, dengan demikian sebagai antisipasi kedepan dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tantangan ini dari sejak dini dapat kita antisipasi khususnya nagi para generasi warga masyarakat Madura dapat membentengi diri dengan memperkuat landasan nilai – nilai norma agama dan soscio culture budaya madura sebagai filter / penyaring transformer nilai- nilai budaya asing yang masuk dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang setiap detik berkembang dan beraduk dalam kehidupan masyarakat sehari- hari.
Perkembangan peradaban manusia yang disertai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan secara massif tidak dapat kita nafikan/ tidak dapat kita abaikan dan tidak ada dalam sejarah perkembangan peradaban manusia yang mengalami kemunduran, kalau tergilas tak terbendung ikut arus dalam perkembangan peradaban manusia itu sudah tentu manakala kita sebagai generasi penerusnya terlena dengan semua apa yang kita hadapi saat itu dan saat ini, oleh karenanya sebagai upaya antisipasi perkembangan peradaban dimasa milenia ini dapat kita lakukan dengan mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (para generasi ) kita dengan pendidikan agama dan pendidikan umum yang cukup sehingga pada masa tertentu yakni pada masa generasinya dalam memasuki perkembangan peradaban manusia secara global tidak hanya sebagai penonton ataupun tergilas oleh perkembangan peradaban itu sendiri tapi sebagai peserta yang berfungsi sebagai penyaring / filter dalam pembentukan karakter berbangsa dan bernegara tetap sesuai dengan nilai-nilai norma agama dan nilai – nilai Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Madura yang akan datang
Kekhawatiran terhadap pengaruh perkembangan peradaban manusia dan Ilmu Pengetahuan khususnya bagi generasi era 50 – 70 an dapat kita rasakan bersama di masa sekarang, dimana saat ini telah diakui sebagai masa/era Mileneal, pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang dilakukan secara gradual yang dimulai dari pasca Kemerdekaan Republik Indonesia yaitu pada masa Ordelama, pada masa Orde Baru hingga kini masa Reformasi telah mengalami perkembangan yang signifikan mulai pembangunan sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, Sektor Ekonomi global, dan pembangunan Infra Struktur serta pembangunan Seni Budaya telah dirasakan oleh seluruh komponen Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Meraoke.
Madura yang merupakan bagian kecil dari Republik Indonesia tentunya juga telah turut merasakan hasil pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan tidak mengesampingkan hal – hal positif – negatif (plus minusnya) yang terdampak atas keberhasilan pembangunan tersebut, tentu saja hal tersebut salah satu konsekwensi yang harus diterima oleh setiap manusia yang selanjutnya bagaimana para generasi menyikapinya dampak negatif – positif tersebut menjadi sebuah energy positif, sehingga dapat menciptakan sebuah cahaya gemilang untuk pembangunan dimasa yang akan datang. Dalam hal ini penulis akan mengungkap suatu nilai history gemilang yang telah dilakukan oleh para generasi pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan yang berasal dari Madura kususnya Kabupaten Pamekasan sebagai nilai keseimbangan dan cermin bagi generasi selanjutnya dimasa yang akan datang, dikutip dari buletin yang ditulis oleh A.Sulaiman Sadik, dalam rangka Hari Jadi Pamekasan, yang bertemakan Sejarah Kabupaten Pamekasan ;
Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuh. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara. Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggo ukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labângan Dâjâ ke Kraton Mandhilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya. Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa Kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam. Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal fattah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas.
Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan-jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.
Bahkan zaman pemerintahan Ronggo Sukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda Kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan. Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti “Graaf “ dan “TH. Pigeaud” tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang “Matahari Terbit dan Bulan Sabit”, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah Madura.
Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerah sebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Kè’ Lèsap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik Nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Bhâpa’, Bhâbu’, Ghuru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karesidenan Basuki). Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso, walaupun sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Memberlakukan dan perlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas.
Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.
Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di negara kita pada zaman kebangkitan dan Pergerakan Nasional. Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai politik Nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh Nasional. Kita mengenal “Tabrani”, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh lainnya seperti “Mohammad Yamin” sudah tidak lagi bersilang pendapat.
Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat Nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan.
Setelah mencermati dan menilai rangkaian nilai sejarah perjuangan bangsa diatas para leluhur dengan gigih tanpa mengenal pasang surut memperjuangkan kemerdekaan dan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa demi terwujudnya kemaslahatan bangsa dengan kondisi yang serba terbatas, mampu mewujudkannya hingga kini kita nikmati bersama,patut kita pertanyakan akankah menjadi cambuk bagi kita semua dalam mengisi kemerdekaan ini secara berkesinambungan dari generasi kegenerasi selanjutnya. Oleh karena itu pengaruh era globalisasi dunia yang berdampak langsung terhadap socio culture menjadi tanggung jawab kita bersama guna membangun dan membentuk serta meberikan bekal para generasi kita agar menjadi generasi yang berkarakter The Nation’s Culture yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Mencermati perkembangan Socio Culter akibat pengaruh era global sebuah perkembangan peradaban dunia yang merambat secara massif dibeberapa Negara berkembang didunia Internasional serta maraknya perkembangan tekhnologi ditingkat dunia semakin menjadi nyata akan berdampak kuat terhadap generasi muda Indonesia khususnya Madura. Perkembangan teknologi secara global tak dapat kita pungkiri lagi hal tesebut merupakan bagian dari unsur perkembangan peradaban manusia yang berpengaruh terhadap perilaku kehidupan social masyarakat khususnya para generasi dan kita sendiri, tentu saja hal tersebut harus kita sadari bersama dengan tetap berfungsi pengendali bagi generasi kita untuk tetap menjungjung tinggi nilai- nilai peradaban leluhur kita dengan cara melestarikan dan mengembangkan warisan Budaya dan Seni Tradisional yang sampai saat ini masih dapat kita nikmati bersama, bahkan dari nilai- nilai Budaya dan Seni yang kita dapati saat ini telah mengalami perubahan melalui proses kemasan disesuaikan kebutuhan generasi saat ini dengan tetap berpijak pada nilai pakem yakni tradisional Madura.
Perkembangan peradaban masyarakat Madura pada umumnya dapat kita potret bersama melalui unsur- unsur kebutuhan kehidupan social masyarakat Madura berdasarkan pengalaman penulis yang hidup pada generasi 1962 yaitu dimasa peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Masa Reformasi serta masa Mileneal saat ini. Kondisi kehidupan Sosial Madura saat ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya, hal ini penulis akan menyampaikan satu nilai falsafah jawa ; “ Sandang – Pangan – Papan” artinya setiap kehidupan Manusia butuh “Pakaian Makan dan Rumah” untuk mendapatkan tiga unsur tersebut manusia harus dengan jalan “bekerja” maka dengan bekerja akan dapat terpenuhi semuanya. Orang Madura juga mengadopsi nilai falsafah orang jawa tersebut dengan melalui ungkapan kata bermakna dalam sastra Madura “ Mon Terro Ngakana Alako” diterjemahkan dalam ( BI = apabila ingin makan bekerja) sebenarnya dalam konteks ini yang ingin disampaikan oleh para leluhur kita adalah ; “ Apabila ingin terpenuhi kebutuhan hidup harus dengan jalan bekerja” lalu kemudian secara spesifik leluhur kita mengatur tentang hal tersebut dengan melalui Prèbhâsan Madhurâ “ Lakona Lakonè, Kennengna Kennenggè “ terjemahan dalam ( BI = Kerjanya Kerjakan, Tempatnya tempati ) makna yang terkandung dalam falsafah ini adalah bahwa setiap orang punya keahlian sendiri dan tekuni sesuai dengan keahliannya serta jangan pernah kalian punya rasa iri pada orang lain ).
R. Sony Budiharto
Departemen Tari Dewan Kesenian Jawa Timur | Pengurus Dewan Kesenian Pamekasan Pembina | Pelatih Sanggar Madu Sekar | Pimpinan Home Band “Komunitas Arek Lancor”
Luar biasa BPK Sony tulisan artikelnya tenang Pulau Madura.smg bisa mendorong teman teman yg lain.untul menulis artikel.