Musikalitas Etnik khas Dawai Cempluk dan Vokal Anggar

Pementasan Tiga Lagu Urban Music karya Duo Etnicholic

Seperti biasa, Redy Eko Prasetyo, leader Duo Etnicholic, tampil dengan busana etnik khasnya. Motif ornamentik ala Toraja berwarna-warni yang menjuntai panjang. Bawahannya sarung berwarna hitam.

Gitar berbentuk unik digenggamnya. Ia menyebutnya “Dawai Cempluk”, karena pembuatannya dikerjakan di Kampung Cempluk, Malang. “Selalu pakai ini. Disebut gitar tapi bukan gitar. Sebut saja dawai cempluk. Karena memang berbasis dawai,” ujarnya.

Jika gitar terdiri dari enam senar, gitar cempluk milik Redy hanya terdiri dari lima senar saja. Neck lebih kecil tapi memanjang. Fret-nya hanya berjumlah sembilan belas. Berbeda dengan fret gitar pada umumnya yang mencapai 21 hingga 24 fret. Fret pada gitar cempluk milik Redy terbuat dari bambu. Berbeda dengan sitar atau gitar yang terbuat dari logam pipih. Sedangkan body gitarnya terbuat dari kayu. Berbentuk trapesium yang melebar di kedua sisi.

Ia menunjukkan karakter suaranya dengan membuat petikan, disusul satu-dua strumming. Hasilnya terdengar lebih renyah dan ber-treble. Mirip sitar, namun gaung resonansinya lebih rapat. Jika sitar dimainkan dengan teknik slide, gitar cempluk dimainkan dengan teknik petikan melodis.

Pasangan duetnya, Anggar Syaf’iah Gusti, tampak anggun dengan kebaya berwarna hijau, dengan bawahan kain jarik. Keduanya ditemani oleh additional player. Yakni Wahyu sebagai pemetik gitar dan David sebagai bassist.

Siang itu, 13 Desember, mereka mementaskan tiga single terbaru mereka. Yakni Hip Hip Duro, Hijau Lestari danRenjana Senja. Pengambilan gambar dilakukan di studio musik Warna Swara, Malang. 

Salah satu lagu mereka berjudul Hip Hip Duro cukup unik. Duo tersebut memulai dengan pukulan ritmis drum elektrik. Wahyu memulai intro dengan gitarnya. Kemudian keempatnya mengisi latar musik dengan irama pop dengan sentuhan jazzy. Nada-nada melodis pentatonik sepanjang lagu dibunyikan oleh dawai cempluk yang dimainkan Redy, serta dentuman bass yang atraktif dan kaya nada.

Lagu terbaru milik Duo Etnicholic tersebut berbahasa Madura. Redy yang menciptakannya. Sebagai pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, Redy tentu lekat dengan karakteristik budaya Pandalungan.

Dalam buku Pemetaan Kebudayaan Jawa Timur, budaya Pandalungan merupakan budaya hibridisasi, hasil proses panjang adanya interaksi masyarakat yang terdiri dari dua etnis: Jawa dan Madura. Maka Redy, seperti halnya masyarakat Pandalungan, menguasai dua bahasa daerah tersebut. Serta tentu dapat memaknai banyak hal dalam bentuk lirik lagu dalam dua bahasa daerah itu..

Lagu Hip Hip Duro semakin memperkaya khasanah lagu-lagu Madura pada era kontemporer seperti sekarang ini. Bila biasanya dimainkan dengan musikalitas tradisi, di tangan Duo Etnicholic, lagu tersebut menjadi lebih modern, tapi tak melepaskan kekhasan cengkok vokal lagu daerah Madura yang rumit dan sering menerapkan teknik falsetto untuk nada-nada tinggi.

Seperti teknik vokal yang dibawakan Anggar. Dia menjangkau oktaf serta nada-nada vokal yang meliuk-liuk rumit. Ditambah dengan stacatto yang menghentak-hentak ketika Redy bermain dalam part melodi cukup panjang di tengah-tengah lagu.

Ajelen ka pasar begih

Ngibeh jejen gebey konjengan

Oreng odi’je’dimaseddih

Makle moljeh sataretanan

Mera koneng biruh,ajejer 

Sataretanan jek atokaran

Eatoreh areng sareng

Makle padhe rajeh rejekenah

Eya….eyo…eya..eyo…

Begitulah lirik lengkap dari single Hip Hip Duro yang dipentaskan oleh Duo Etnicholic. “Maknanya lebih pada konsep menjaga persaudaraan sesama manusia,” ungkap musisi 42 tahun tersebut. Lirik mera, koneng, biru menyimbolkan keragaman bangsa Indonesia. “Apabila disejajarkan (ajejer), maka akan jadi bias pelangi yang indah dan harmonis. Sedangkan sataretanan jek atokaran, artinya sesama saudara jangan bermusuhan,” tambahnya.

Pentingnya persaudaraan adalah pesan utama dalam lagu tersebut. Beragam budaya, termasuk budaya Madura, mempercayai bahwa dengan mengikat rasa persaudaraan dan kekompakan, tanpa pandang bulu, dapat membuka jalan bagi seseorang untuk beroleh kebahagiaan serta rezeki yang melimpah.

Selain inovasi musik yang memadukan unsur modern dan etnik, Duo Etnicholic juga kerap menyisipkan pesan-pesan moral untuk menjaga persatuan dan kesatuan, atau pesan tentang pentingnya kesadaran menjaga lingkungan, seperti dalam lagu Hijau Lestari.

Lagu tersebut pernah menjadi juara 1 kategori nomination duet : mixed vocal and instrumental di gelaran Supravista International Festivals pada Desember 2020, yang diselenggarakan di Italia. Jadi dapat dibilang Hijau Lestari telah go international.

Lagu Hijau Lestari memberi sentuhan nada dan warna vokal khas Jawa. Intro lagu dimainkan oleh Redy. Dawai cempluknya menghasilkan nada-nada percampuran etnik dari berbagai daerah. Selain nuansa Jawa, ada juga sentuhan nada mandarin hingga nada-nada unik khas Afrika. Jika pementasan tersebut didengarkan dengan menggunakan headset, terdengar sangat jelas karakter suara dawai cempluk yang cenderung open chord, melodis yang notasinya satu nada dipetik secara bergantian.

Perlahan gitar Wahyu dan David mulai masuk. Instrumen mereka setelah berpadu menunjukkan perpaduan antara Jawa dan modern. Duo Etnicholic lebih suka menyebutnya sebagai urban music. Vokal Anggar mulai terdengar dengan nyaring. Kepiawaian memainkan cengkok beragam etnik menunjukkan kemampuan dan jam terbangnya yang cukup tinggi.

Lagu ketiga berjudul Renjana Senja. Sama seperti dua lagu sebelumnya, Renjana Senja juga memiliki musikalitas unik urban music. Renjana Senja berbicara tentang kegairahan manusia menyambut pergantian hari, atau menyambut kebaruan,” terangnya.

Namun secara tersirat, lagu tersebut memaknai hubungan antar sesama manusia, manusia dengan alam serta manusia dengan Tuhan. Manusia senantiasa menyambut pergantian waktu, dalam hal ini Duo Etnicholic mewakili waktu lewat “Senja”, dengan penuh kegairahan. “Kegairahan menyangkut aspek spiritual. Misalnya ungkapan syukur terhadap Sang Khalik,” ujarnya.

Kemunculan Duo Etnicholic memberi kesegaran bagi publik musik Indonesia untuk dapat menikmati musik inovatif dengan lirik-lirik filosofis. Setelah sekian lama disuguhkan musik-musik selera pasar yang dibentuk label-label besar demi kepentingan ekonomis dan mengabaikan kualitas.Pementasan tiga lagu tersebut dapat disaksikan melalui channel YouTube Duo Etnicholic, yang diunggah pada 19 Desember 2021 lalu. (Guruh Dimas Nugraha)