Hari Film Nasional : Selamat Hari Film, Kawan-Kawan Daerah

Beberapa pesan untuk Irfan masuk melalui whatsapp, “Selamat hari Film Nasional, Mas Irfan.” Tanggal 30 Maret memang menjadi peringatan hari film di Indonesia, ditandai dengan lahirnya film berjudul Darah dan Doa pada tahun 1950 yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Entah kenapa, Irfan merasa senang mendapat ucapan demikian–mungkin merasa dianggap sebagai pembuat film–namun di sisi lain, ia pun bertanya pada diri sendiri, untuk apa hari film nasional diucapkan padanya? Bukankah ia hanya anak daerah dari kabupaten kecil yang untuk membuat film saja, sistem pendukungnya masih jauh dari kata ideal. 

Pernah saat itu dirinya menaruh cita-cita di Jakarta untuk menjadi seseorang pelaku sinema, bermodalkan sertifikat kelulusan dari sebuah pendidikan profesi broadcast di Surabaya. Namun seperti yang tampak hari ini, Irfan masih tetap di Gresik dengan keyakinan bahwa: suatu saat nanti kita akan jadi filmmaker sungguhan. Keyakinan itu yang seringkali membuat dirinya termenung, alih-alih mendapatkan ide, Irfan lebih banyak meluangkan waktu untuk menghitung perjalanan ke belakang. Sudah hampir sepuluh tahun dirinya membuat film, lebih dari 20 judul yang dibuat. Tapi, apa dampak kongkrit untuk dirinya?

Irfan kembali menyalakan rokok untuk meneruskan lamunan di sebuah warung tengah kota yang sepi pengunjung. Di hadapannya ada kopi hitam yang tersisa. Sore itu dia sedang menunggu seseorang yang hendak membiayai film terbarunya. Tampak dari raut mukanya, ia sedang berpikir mengenai strategi, dampak, dan mengapa idenya perlu diwujudkan. Sehingga kawannya itu yakin untuk membantu mimpi Irfan berikutnya.

“Maaf telat, sudah lama, Fan?” Laki-laki berkaos oblong putih dengan tulisan “Gresik adalah Jawaban, dari pertanyaan yang sulit dan pikiran yang rumit,” duduk di depannya. Namanya Akbar, dia adalah pemilik kedai kopi yang konon katanya, didedikasikan pada semesta kesenian. Hal itu yang membuat Akbar merasa bahwa produk budaya mesti menjadi hiburan masyarakat. Karena hidup di kota yang sibuk, menjadikan orang-orangnya butuh tontonan yang bisa membuat bahagia sekaligus melupakan beban hidup yang semakin berat tentu saja.

 “Ah, tidak. Kopi juga belum habis. Kita akan membahas langsung?” 

“Boleh. Tapi aku ingin pesan kopi dulu ya? Biar lebih enak ngomongnya.” Akbar beranjak dari tempat duduk, dia memesan kopi hitam dan sebungkus rokok kretek. Sementara Irfan membuka laptopnya untuk menunjukkan skenario draft akhir. Rencananya, film yang berjudul Salah Melihat Jalan Surga dirilis tiga bulan kemudian. Irfan sangat percaya bahwa kali ini, filmnya mampu mendatangkan banyak penonton dan akan lolos dalam festival.

 Selesai memesan kopi, Akbar kembali duduk di sampingnya. “Bagaimana, Kawan? Pembahasan sudah bisa kita mulai?” tanya Irfan sembari menghadapkan layar laptop pada kawannya itu. Irfan memaparkan gagasan awal mengenai filmnya yang ingin merespon fenomena manusia hari ini. Idiom rahim digambarkan semacam Surga bagi perempuan, kemudian dipatahkan sendiri dengan surga lain yang menggunakan idiom harta. Irfan mengaku idenya kali ini akan diwujudkan dengan pendekatan psikologi.

“Sebentar, Fan. Kamu kan tahu, bahwa mayoritas penonton acara kesenian di kota ini adalah pelajar atau boleh dibilang, di bawah 18 tahun. Bukannya ini akan memotong banyak nominal ketika dilakukan pemutaran berbayar?”

“Iya, Bar. Film ini tidak akan diputar untuk mereka. Memang penonton tidak akan sebanyak sebelumnya. Tetapi bagaimana jika harga tiket yang dinaikkan, Rp.50.000 misalnya?”

“Kamu mimpi? Ini Gresik, Bung! Tiket harga Rp.20.000 saja, akan dihina dan dibandingkan dengan harga bioskop. Realistis sajalah. Jangan terlalu idealis.”

“Apa maksudmu dengan idealis? Ini namanya kompromi. Hidup sudah realistis, masak ide yang kita wujudkan harus realistis pula? Itu namanya belum memilih.”

“Lalu bagaimana dengan uangku yang akan digunakan sebagai biaya produksi. Apa kamu pikir ini semacam sedekah? Jika demikian, sebaiknya akan kusalurkan untuk kegiatan-kegiatan agama.”

Irfan terdiam. Dirinya semacam mengelola emosi agar tidak meledak.  Ia hanya memandangi Akbar dengan penuh pertanyaan. Sebaliknya, Akbar dengan tenang menunggu jawaban Irfan sambil menyalakan kretek. Kawannya yang satu ini memang sering menjadi tembok besar dalam mimpi Irfan yang sulit dibendung. “Fan, coba dipikir ulang. Aku mengeluarkan uang untuk investasi. Bukannya kau bilang, seni dapat hidup ketika mendapat apresiasi. Kamu bukan pembuat film arus utama–yang hidup di Jakarta dengan banyak penyandang dana. Film ini tidak akan masuk bioskop kan, Bung?”

Obrolan Irfan dan Akbar berhenti.  Di meja samping mereka, terdapat tiga orang sedang menonton film pendek berjudul Hari Ini Sangat Cerah yang berada di kanal youtube. Salah satu di antara mereka berperan menjadi apresiator handal. Setiap adegan dijelaskan pada teman-temannya. Katanya, Film berdurasi delapan menit itu memiliki plot twist tidak biasa, sehingga penonton seperti diajak mengalir pada cerita kemudian dihentak oleh ending yang mengikat. Namun sayang, secara teknis film itu masih tampak berantakan.

“Mas, sedang nonton film apa?” Irfan melempar tanya pada 3 laki-laki itu.

“Oh ini, Mas. Hari Ini Sangat Cerah. Film pendek dari Gresik.” Salah seorang yang bertindak sebagai apresiator tadi menjawab.

“Bagus filmnya, mas?”

“Menurutku ini menarik, mas. Filmnya tidak basa-basi, tidak cerewet. Tapi ya gitu, aku merasa Irfan kurang memikirkan hal teknis.”

“Irfan?”

“Iya, mas. Yang nulis sekaligus Sutradaranya.”

“Oh. Kenal, mas?”

“Ya tahu. Beberapa Film-filmya pernah aku tonton.”

“Masnya sering datang ke pemutaran filmnya?”

“Enggak sih, mas. Nunggu pas sudah di unggah youtube aja. Nggak pakai bayar. Hehe”

Akbar tiba-tiba memegang pundak Irfan untuk menahan. Kawannya itu tahu, bahwa Irfan ingin memprotes sikap laki-laki yang mungkin menurutnya tidak tahu diri. Film pendek memang belum mendapat tempat edar di bioskop-bioskop, namun di ruang pemutaran alternatif. Hal itu yang mungkin membuat banyak orang malas datang untuk membeli tiket dan lebih menunggu pembuatnya mengunggah Filmnya kenmedia daring karena sudah putus asa untuk mendistribusikan ke festival maupun ruang-ruang lainnya yang membutuhkan tenaga dan uang.

Irfan mematikan laptopnya, kemudian menghadap pada Akbar dengan wajah yang serius. “Bar, jika tiket kita jual dengan Rp.15.000 dan penonton yang membeli ada 200 orang, kita akan dapat pemasukan Rp. 3.000.000”

“Filmmu diproduksi dengan biaya Rp. 10.000.000 dan sewa gedung untuk pemutaran ditambah layar, proyektor, cetak banner, poster juga hal lainnya, sekitar Rp. 5.000.000 Kan?

Irfan kembali terdiam. Ia berpikir mencari cara untuk menutupi biaya atau justru menghentikan niatnya membuat film. Barangkali jika Irfan tidak jadi mewujudkan idenya, perihal uang bukan menjadi sesuatu yang dipermasalahkan. Irfan meringsut dan menghirup rokoknya dalam-dalam. Pikirannya menuju rumah yang di temboknya menyimpan 3 pigura. Pertama bertulis “Peserta Kelas Apresiasi Festival Film Solo tahun 2014.” Pigura berikutnya berbunyi “Sertifikat Peserta Penulisan Skenario oleh Kemendikbud tingkat dasar dan menengah tahun 2017. Kemudian pigura paling kanan didapat tahun 2019 dari Dewan Kesenian dan Gubernur Jawa Timut, bertuliskan “Sertifikat diberikan kepada Irfan atas dedikasi dan kontribusi terhadap film Jawa Timur.”


Tiba-tiba terlintas di kepalanya untuk meletakkan pigura ke empat. Dengan sadar Irfan berpikir, berikutnya antara cita-cita atau dirinya sendiri yang mesti digantung dan dipugara sebagai pajangan. Tentu saja agar seperti tiga pigura sebelumnya, akan disematkan tulisan: Film bukan sekadar produk hiburan, tetapi produk ilmu pengetahuan.

Irfan Akbar 

Department Film Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur | Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Greek