Bulan Suro, Cerita Dan Renungan Dari Pura Mangkunegaran

Pada hari Sabtu tanggal 15 Juli 2023, saya mendapat ajakan dari sahabat lama seorang seniman batik dan fashion designer di Jakarta, Nanang Sharna. Pembatik dan fashion designer yang beberapa karyanya dipakai oleh Nelson Mandela tersebut ternyata adalah seorang Mangkunegaran. Ya, ajakan pada hari sabtu itu adalah untuk mengikuti kirab satu suro di Pura Mangkunegaran, Solo. Rabu 19 Juli 2023 saya berangkat ke Solo dengan kereta Pasundan dari waktu keberangkatan Surabaya 05.50 WIB. Selama perjalanan saya membayangkan akan seperti apa kirab ini nanti? Akankah seperti kirab Surabaya Vaganza yang sering saya ikuti setiap tahun, atau ada hal lain yang menjadi pembeda, atau mungkin menjadi sebuah pelajaran berharga?.

Pukul 10.25 WIB saya tiba di stasiun Purwasari, Solo. Sembari menunggu kedatangan mas Nanang dan rombongan, saya menikmati seduhan kopi dan gorengan ditemani dengan buku karya Paulo Coelho “The Alcemist”, jika kamu menginginkan sesuatu di hidupmu, semesta akan membantu mewujudkannya, satu kalimat yang saya suka dari buku tersebut, pada hari ini semesta akan memberi saya apa?. Dua jam berlalu, rombongan mas Nanang telah sampai di Pura Mangkunegaran, dengan ojek saya langsung menuju ke sana, di pintu timur kita akan bertemu. Setelah prosesi pertemuan berlangsung, ya ada sedikit pelukan dan canda tawa, saya, mas Nanang, dan rombongan langsung masuk ke wilayah Pura untuk melakukan proses fitting pakaian. Hal yang menarik dari proses fitting ini adalah, sangat banyak sekali keturunan keluarga mangkunegaran, ada yang berasal dari sumatera, jawa, bali dengan berbagai latar belakang etnis yang beragam juga, tionghoa, jawa, dan sebagainya.

Kita akan dijadwalkan untuk rias kembali ke Pura pukul 17.00, sisa waktu kita gunakan untuk beristirahat sejenak di hotel. 17.20, sore itu, Pura Mangkunegaran lebih ramai dari siang tadi, di pintu timur mobil telah antre panjang untuk mendapatkan tempat parkir, beberapa orang berpakaian jawa lengkap keluar satu persatu dari barisan mobil. Tampaknya kirab ini lebih serius dari kirab yang pernah saya ikuti sebelumnya, saya sedikit gugup. 18.45 saya ada di barisan ke-tiga dari rombongan kirab. Kirab ini dilepas langsung oleh Mangkunegara X, Gusti Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo. Beberapa tamu kehormatan yang juga saya lihat pada saat itu adalah Ganjar Pranowo, dan Gibran selaku walikota Solo.

Setelah ritual pembukaan dan doa, kirab diberangkatkan. Ada beberapa hal yang menarik di kirab ini; pertama, kirab ini adalah kirab pusaka Mangkunegara, tidak ada tampilan seni, tidak ada dangdut atau hiburan musik. Hanya pusaka sakral yang diarak keliling pura, tetapi kirab ini didatangi oleh banyak Masyarakat solo, entah sekuat itu daya tarik kirab ini bagi mereka.  Kedua, kirab ini adalah kirab diam, tidak banyak suara yang dapat didengar baik dari peserta kirab atau penonton. Bahkan dibeberapa sudut pura, saya bisa mendengar gesekan daun dari pohon yang terhembus angin. Ya, kirab ini memang dilakukan dengan diam sembari mengantar pusaka mengilingi pura, semua yang hadir baik dari peserta atau penonton diharapkan untuk diam dan berdoa bagi keselamatan Pura, Indonesia, dan diri sendiri. Saya tidak tau apa yang membuat para penonton patuh terhadap kesakralan kirab ini, saya takjub. Ketiga, setelah kirab usai, para penonton yang kebanyakan adalah warga Solo, langsung masuk ke wilayah pura, tanpa Batasan, tanpa barikade antara warga sipil, undangan, dan keluarga Kerajaan, semua menjadi satu didalam Pura Mangkunegaran, semua mendapatkan makan, semua makan bersama.

Pukul 24.00, lampu Pura Mangkunegaran dimatikan, semua hening, ini adalah malam perenungan satu suro. Memang itu esensinya, bulan Suro, Bulan Muharam, dalam segi keagamaan pun tidak ada perang yang boleh dilakukan di bulan ini Keheningan malam lantas membuat saya berfikir beberapa hal, bagaimana jika kirab ini dilakukan melalui sudut pandang Surabaya? Sudut pandang kota yang saya tinggali; Pertama, sejauh mana pemerintah kota mengenalkan ikon Sejarah kota pada warganya? Seperti kirab ini, pusaka yang merupakan identitas Mangkunegara di arak keliling, Masyarakat hadir untuk melihat bahwa identitas mereka masih ada, masih dijaga oleh pemerintah, oleh raja. Bagaimana dengan kota saya? identitas itu dirubah untuk mengikuti kemajuan zaman, bangunan cagar budaya dirobohkan dan diganti dengan bangungan modern yang lebih komersil dengan nama alun-alun. Kedua, bicara sense of belonging Masyarakat, warga Solo sangat antusias dengan kirab ini, mereka merasa masih memiliki, masih menjadi bagian dari Kerajaan mereka datang tanpa ada daya tarik lain selain ritual Kerajaan. Bagaimana dengan rasa kepemilikan itu di kota Surabaya? Akankah ada warga yang datang jika kirab semacam ini dilakukan, tanpa hiburan, tanpa dangdut?. Ketiga, ketika Masyarakat Solo masuk kedalam wilayah Pura seusai kirab dilakukan, apakah mungkin kita sedekat itu? Hubungan Pemerintah dengan masyarakatnya apakah mungkin bisa sedekat itu? Ruang interaksi tanpa batas, bahkan Masyarakat dan pemerintah dapat makan, berdoa, dan melakukan perenungan bersama dalam satu atap.

Mungkin itu hanya beberapa perenungan yang tidak cukup penting yang saya lakukan di malam perenungan Mangkunegaran. Pukul 02.00 WIB, saya dan mas Nanang kembali ke hotel untuk beristirahat. Tetapi apabila hal tersebut dapat terwujud, betapa kerennya kota saya? Pemerintah dan warga saling bahu-membahu menjaga dan melestarikan identitas budayanya. Ditengah modernitas zaman, mungkin saya sebagai pribadi yang masih mengagumi budaya dan identitas kota saya berharap hal tersebut dapat terwujud. Walaupun hanya sebuah harapan tetapi jika saya kembalikan pada kalimat di buku The Alcemist yang saya baca, semoga semesta akan membantu untuk mewujudkannya.

Andreanto Surya Putra, S.Hub.Int

Departemen Humas dan Media